Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Sejak aku tinggal di Jerman, aku ngerasa hidupku tuh berubah banget — bukan cuma dari suasana, tapi juga dari cara pandangku terhadap manusia.
Dulu waktu masih di Indonesia, aku sering banget berinteraksi, entah di kampus, tempat kerja, atau lingkungan sekitar. Tapi sekarang, hidupku lebih sunyi, lebih tenang. Aku hampir gak punya teman di sini. Orang-orang di sekitarku hanya aku dan suamiku. Dan dari situ aku belajar sesuatu yang dalam banget tentang hati manusia.
Karena jarang berinteraksi sosial, aku jadi lebih peka terhadap karakter orang.
Lucunya, justru ketika aku gak banyak ketemu orang, aku jadi bisa “melihat” manusia dengan lebih jernih.
Aku melihat orang-orang Indonesia dari kejauhan — lewat berita, media sosial, atau sekadar obrolan — dan aku sadar, sebenarnya orang Indonesia itu baik, penuh rasa peduli dan gotong royong.
Tapi di sisi lain, ada satu “penyakit hati” yang sering banget muncul tanpa disadari: gampang kebakaran.
Gampang tersinggung, gampang marah, gampang salah paham.
Mungkin karena lingkungannya terlalu ramai, terlalu banyak suara, terlalu banyak opini yang bikin hati gak sempat tenang.
Sementara di sini, di tempat aku tinggal sekarang, sunyi sekali.
Gak ada orang yang nyinyir di sampingku.
Gak ada yang ngomporin.
Gak ada yang bisik-bisik ngomongin orang lain.
Aku cuma hidup berdua sama suamiku — dan alhamdulillah, dia orangnya lucu, ringan, dan gak pernah bawa aura negatif.
Kita jarang banget ngomongin kejelekan orang.
Kalau ngobrol, isinya hal-hal lucu aja. Kadang soal masakan, kadang soal bahasa Jerman yang bikin kita ketawa karena salah ucap.
Dan entah kenapa, itu bikin rumah jadi tenang banget.
Dari sini aku belajar bahwa ketenangan batin itu gak datang dari banyaknya teman, tapi dari bersihnya lingkaran kita.
Aku dulu sempat merasa sedih karena gak punya teman di sini. Tapi lama-lama aku sadar, mungkin ini caranya Allah ngajarin aku untuk mengenal manusia lewat diam.
Karena dalam diam itu, kita jadi bisa melihat lebih jelas — siapa yang hatinya tulus, siapa yang masih menyimpan luka, siapa yang masih terjebak di masa lalu.
Kadang aku mikir, kenapa ya, kalau aku punya niat baik untuk berteman lagi, malah sering disalahpahami?
Padahal aku udah sadar banget, dulu aku juga pernah salah.
Aku pernah nyinyir, pernah keceplosan ngomong sesuatu yang gak seharusnya, dan aku gak menyangkal itu.
Tapi aku juga belajar dari kesalahanku.
Setiap kali aku sadar salah, aku langsung hapus postinganku, istighfar, dan introspeksi.
Yang bikin aku sedih itu bukan karena orang gak mau memaafkan, tapi karena ada orang yang bisa menyimpan dendam begitu dalam, bahkan ketika kita udah berusaha memperbaiki diri.
Padahal aku gak pernah menjelekkan dia secara publik, aku cuma menceritakan pengalamanku sendiri — bukan dengan niat buruk, tapi sebagai pelajaran hidup.
Tapi mungkin begitulah hati manusia.
Kalau belum tenang, hal kecil pun bisa terasa seperti luka besar.
Dan aku paham, dulu aku juga pernah di posisi itu — mudah tersinggung, mudah salah paham, mudah merasa diserang padahal orang lain gak bermaksud apa-apa.
Sekarang, karena aku hidup di lingkungan yang tenang, aku bisa ngelihat perbedaan itu.
Ternyata ketika hati kita bersih dari gosip, dari rasa iri, dari pembicaraan tentang orang lain — hidup tuh jadi ringan banget.
Gak ada lagi beban pikiran tentang siapa ngomong apa, siapa lebih duluan sukses, siapa yang nyindir siapa.
Yang ada cuma rasa damai.
Mungkin inilah yang disebut fase penyembuhan hati.
Fase di mana Allah jauhkan kita dari keramaian bukan karena kita gak pantas punya teman, tapi karena Dia pengen kita punya pandangan baru — pandangan yang lebih dalam, yang gak reaktif, yang lebih memahami manusia dengan kasih, bukan dengan ego.
Sekarang aku belajar untuk gak cepat menilai orang.
Aku gak mau lagi terjebak di lingkaran “siapa yang benar dan siapa yang salah.”
Karena pada akhirnya, semua orang punya perjuangan masing-masing.
Dan kalaupun seseorang masih menyimpan sakit hati padaku, aku cuma bisa doakan semoga Allah lembutkan hatinya — seperti Allah juga sudah lembutkan hatiku.
Jadi ya, mungkin beginilah cara Jerman mengubahku:
bukan lewat cuaca, bukan lewat gaya hidup, tapi lewat sunyi yang bikin aku belajar mengenal hati manusia, termasuk hatiku sendiri.
Komentar
Posting Komentar