Unggulan

2 Bulan di Jerman: Antara Kagetnya Winter, Hangatnya Rumah Baru, dan Rindunya Tanah Air

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..

Halo semuanya! Apa kabar? Semoga kalian semua sehat selalu ya. Aku mau cerita nih, pengalaman 2 bulan pertamaku tinggal di Jerman. Jujur, ini pengalaman yang campur aduk banget, dari seneng, kaget, kagum, sampai rindu rumah. Penasaran kan gimana ceritanya? Yuk, simak terus!


Winter is Coming… and it Came!

Tanggal 3 Desember 2023 itu hari pertama aku menginjakkan kaki di tanah Jerman. Yang pertama kali menyambutku tentu saja… dinginnya udara winter! Brrr… menusuk tulang rasanya. Aku yang terbiasa dengan cuaca tropis Indonesia, langsung kaget banget. Bayangin aja, keluar dari pesawat, anginnya udah kayak gigit kulit. Langsung deh jaket tebal, sarung tangan, topi, semua perlengkapan perang melawan dingin langsung dipakai.

Tapi jujur ya, walaupun dinginnya bikin menggigil, ada satu hal yang bikin aku excited banget: salju! Ini pertama kalinya aku lihat salju secara langsung. Kayak mimpi rasanya. Semua putih bersih, cantik banget. Kayak di film-film gitu. Awalnya sih seneng banget, norak dikit nggak papa ya, namanya juga pengalaman pertama. Hehehe.

Tapi ternyata, euforia salju itu nggak bertahan lama. Setelah beberapa hari, aku baru sadar kalau salju itu nggak cuma cantik, tapi juga… licin! Jalannya jadi super licin, kayak arena ice skating alami. Beberapa kali aku hampir kepeleset, untung masih bisa jaga keseimbangan. Sejak itu, kalau jalan di luar pas salju, aku jadi super hati-hati. Langkahku jadi pelan-pelan kayak siput, takut jatuh soalnya. Pelajaran pertama: salju memang indah, tapi juga butuh perjuangan!


Rumah Baru, Keluarga Baru (Walaupun Jauh dari Keluarga Lama)

Salah satu alasan utama aku pindah ke Jerman tentu saja karena suami. Setelah menikah, akhirnya aku bisa kumpul dan tinggal bersama suami di sini. Ini salah satu hal yang paling aku syukuri selama di Jerman. Punya tempat berlindung, punya teman hidup, di negara yang masih asing buatku, itu rasanya luar biasa. Rumah kami jadi tempat ternyaman, tempat aku bisa cerita semuanya, tempat aku bisa menghangatkan diri dari dinginnya winter dan dinginnya homesick (eits, nanti kita bahas homesick ya!).

Walaupun senang bisa hidup berdua sama suami, jujur ada satu hal yang berat: jauh dari orang tua dan keluarga di Indonesia. Biasanya tiap hari bisa ketemu mama papa, bisa makan masakan mama, bisa ngobrol-ngobrol santai. Sekarang semua itu jauh. Awal-awal rasanya berat banget. Apalagi kalau lagi kangen masakan rumah, langsung deh air mata mau keluar. Tapi untungnya, teknologi sekarang canggih. Video call jadi penyelamatku. Walaupun nggak bisa ketemu langsung, setidaknya bisa lihat wajah mama papa, bisa dengar suara mereka, itu udah cukup mengobati rindu.


Minoritas Muslim di Kota Kecil: Mencari Halal di Tengah Keterbatasan

Nah, ini salah satu pengalaman yang cukup unik dan baru buatku. Tinggal di Jerman, apalagi di kota kecil, ternyata beda banget sama di Indonesia yang mayoritas muslim. Di sini, muslim itu minoritas. Awalnya aku nggak terlalu kepikiran soal ini, tapi pas mau belanja kebutuhan sehari-hari, baru deh kerasa bedanya.

Misalnya, mau beli daging ayam atau daging sapi. Kalau di Indonesia, tinggal ke supermarket atau pasar tradisional, semua dagingnya pasti halal. Nah, di Jerman, nggak semua toko jual daging halal. Supermarket biasa jarang banget jual daging halal. Akhirnya, aku sama suami harus cari toko Turki atau toko Arab. Di sana biasanya ada jual daging halal. Lumayan jauh sih dari rumah, tapi ya mau gimana lagi, demi bisa makan makanan halal.

Selain soal daging halal, aku juga kaget soal produk Indonesia. Awalnya aku pikir, wah, di Jerman pasti banyak Asian Shop, produk Indonesia juga pasti gampang dicari. Ternyata… zonk! Di kota kecilku ini, Asian Shop memang ada, tapi produk Indonesianya… bisa dihitung jari! Kebanyakan produk dari negara Asia lain, kayak Thailand, Vietnam, Korea, Jepang, China. Produk Indonesia cuma beberapa aja, itu pun produk-produk yang umum banget, kayak kecap manis, mie instan, atau bumbu instan. Itu pun nggak semua merek Indonesia ada.

Kangen banget rasanya sama produk-produk Indonesia yang lengkap. Pengen banget makan kerupuk udang, sambal terasi yang enak, atau jajanan pasar khas Indonesia. Tapi ya sudahlah, dinikmati saja apa adanya. Mungkin ini saatnya aku belajar masak masakan Indonesia sendiri, biar nggak terlalu tergantung sama produk instan. Hehehe.


Hidup Tenang, Damai, Tapi… Kangen Ramainya Indonesia

Salah satu hal yang aku suka dari tinggal di Jerman adalah suasana hidupnya yang tenang dan damai. Nggak ada suara bising kendaraan, nggak ada keramaian pasar atau jalanan macet kayak di Indonesia. Di sini, semuanya serba tertib dan teratur. Orang-orangnya juga sopan dan ramah. Jalanan bersih, udara juga segar (walaupun dingin!). Pokoknya, suasana hidup di sini tuh nyaman banget, jauh dari hiruk pikuk kota besar di Indonesia.

Tapi, di sisi lain, aku juga kadang kangen sama ramainya Indonesia. Kangen suara adzan subuh yang berkumandang, kangen suara pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya, kangen suara anak-anak kecil bermain di jalanan. Kangen suasana pasar tradisional yang ramai dan penuh warna. Kangen juga sama kemacetan Jakarta yang katanya bikin stres, eh tapi kok malah dikangenin ya? Mungkin karena itu semua bagian dari Indonesia, bagian dari kampung halaman yang selalu dirindukan.


Shalat Jumat di Negeri Orang: Pengalaman Spiritual yang Berbeda

Sebagai seorang muslimah, ibadah shalat tentu jadi prioritas utama. Di Jerman, aku tetap berusaha menjaga shalat lima waktu. Tapi ada satu hal yang unik dan beda banget soal shalat di Jerman, terutama saat winter: waktu shalatnya!

Waktu shalat di winter itu… pendek banget! Dari waktu dzuhur ke ashar, atau dari maghrib ke isya, itu cuma selisih sekitar 2 jam. Cepet banget kan? Awalnya aku kaget juga. Biasanya di Indonesia, waktu antara dzuhur dan ashar itu lama banget, bisa sampai 3 jam. Di sini, kayak dikejar-kejar waktu. Harus gercep shalatnya, biar nggak ketinggalan waktu, apalagi Dzuhur ke Ashar, tapi kalau Magrib ke Isya lebih lama dari Indonesia. 


Selain waktu shalat yang pendek, ada satu lagi pengalaman spiritual yang baru buatku: shalat Jumat di masjid Jerman. Di Indonesia, aku jujur belum pernah shalat Jumat. Biasanya shalat dzuhur aja di rumah. Nah, di Jerman, karena suami sering pulang kerja lebih awal di hari Jumat, dia sering ngajakin aku shalat Jumat di masjid.

Awalnya agak canggung juga sih, shalat Jumat di masjid yang jemaahnya kebanyakan orang Turki atau Arab. Tapi ternyata seru juga pengalamannya. Khutbahnya pakai bahasa Jerman, tapi ada juga yang pakai bahasa Turki atau Arab. Suasana masjidnya juga beda sama masjid di Indonesia. Lebih sederhana, tapi tetap khusyuk. Yang paling berkesan, waktu shalat subuh. Karena winter, subuhnya itu mataharinya telat banget. Matahari baru terbit sekitar jam 8 pagi atau bahkan lebih. Jadi, subuhnya itu waktunya panjang sampai matahari terbit. Unik banget kan?


Termin, Pos, dan Teh Herbal: Kehidupan Jerman yang Penuh Kejutan

Selain soal cuaca, makanan, dan ibadah, ada beberapa hal lain yang juga jadi kejutan buatku selama tinggal di Jerman. Salah satunya soal sistem administrasi dan birokrasi. Di sini, kalau mau urusan apa-apa, kayak ke kantor imigrasi, ke dokter, atau ke kantor pemerintah lainnya, harus bikin "Termin" dulu. Termin itu kayak janji temu. Jadi, nggak bisa langsung datang terus dilayani. Harus bikin janji dulu, bisa lewat telepon atau online. Awalnya agak ribet juga sih, tapi lama-lama terbiasa juga. Mungkin ini cara mereka biar pelayanan lebih teratur dan nggak antre panjang.

Terus, soal surat menyurat. Di era digital kayak gini, ternyata di Jerman masih banyak yang pakai pos untuk kirim surat. Surat-surat penting, tagihan, atau bahkan undangan, masih sering dikirim lewat pos. Awalnya aku agak heran juga, kok masih pakai pos ya? Tapi ternyata, sistem pos di Jerman ini memang bagus dan efisien. Surat pasti sampai tujuan dengan aman dan cepat. Jadi, walaupun terkesan kuno, tapi ternyata efektif juga.

Nah, ini nih yang paling aku suka dari Jerman: teh herbal! Di sini, teh herbal itu populer banget. Di supermarket atau drugstore, pilihan teh herbalnya banyak banget. Dari teh untuk tidur, teh untuk saraf, teh untuk perut kembung, sampai teh untuk mengatasi masuk angin (erkältungs tee). Aku jadi suka banget minum teh herbal. Selain rasanya enak, teh herbal juga banyak manfaatnya buat kesehatan. Aku jadi stok banyak teh herbal di rumah. Kalau lagi nggak enak badan, daripada minum obat, aku lebih milih minum teh herbal dulu. Kayak jadi apotek alami di rumah sendiri. Selain teh herbal, aku juga rutin minum vitamin di sini. Biar badan tetap fit dan kuat menghadapi dinginnya winter.


Makanan Murah? Relatif!

Banyak yang bilang, biaya hidup di Jerman itu mahal. Awalnya aku juga mikir gitu. Tapi ternyata, kalau soal bahan makanan sehari-hari, menurutku nggak terlalu mahal juga sih. Harga sayuran, buah-buahan, daging, telur, susu, roti, itu masih terjangkau. Kalau dirupiahkan memang jadi kelihatan mahal, tapi kalau dilihat dari standar gaji di Jerman, harga-harga itu masih wajar. Mungkin yang mahal itu biaya sewa tempat tinggal, transportasi, dan hiburan. Tapi kalau soal makan, menurutku Jerman masih termasuk negara yang "ramah di kantong".


Bahasa Jerman: Tantangan yang Harus Dihadapi

Ini dia tantangan terbesar buatku selama tinggal di Jerman: bahasa Jerman! Jujur, bahasa Jerman itu susah banget! Grammarnya rumit, pengucapannya juga beda jauh sama bahasa Indonesia. Awalnya aku merasa kayak orang bodoh banget, nggak ngerti apa-apa kalau orang Jerman ngomong. Kayak hidup di dunia yang berbeda bahasa.

Tapi, aku nggak mau menyerah gitu aja. Aku sadar, kalau mau tinggal dan beradaptasi di Jerman, aku harus belajar bahasa Jerman. Aku mulai ikut kursus bahasa Jerman online, belajar dari aplikasi, dan juga sering ngobrol sama suami pakai bahasa Jerman (walaupun masih belepotan). Pelan-pelan, aku mulai bisa ngerti sedikit-sedikit bahasa Jerman. Walaupun masih jauh dari lancar, tapi setidaknya aku nggak merasa terlalu asing lagi. Semoga ke depannya bahasa Jermanku bisa makin bagus, biar bisa lebih berbaur sama masyarakat Jerman.


Rindu Indonesia, Walaupun Jerman Juga Cantik

Dua bulan tinggal di Jerman, banyak banget pengalaman baru yang aku dapatkan. Senang, kaget, kagum, semua campur aduk jadi satu. Aku suka suasana tenang dan damai di sini, aku suka udaranya yang segar, aku suka teh herbalnya yang banyak macamnya. Jerman memang negara yang cantik, dengan bangunan-bangunan tua yang indah, alamnya yang hijau, dan musim saljunya yang mempesona.

Tapi, sejujurnya, di tengah semua keindahan Jerman, tetap ada rasa rindu yang menusuk ke Indonesia. Rindu masakan mama, rindu teman-teman, rindu suasana ramai dan hangatnya Indonesia. Mau gimana pun, negara sendiri itu memang selalu paling nyaman dan indah di hati. Mungkin karena di sanalah akar kita tumbuh, di sanalah keluarga dan teman-teman kita berada.

Kalau lagi kangen banget sama Indonesia, biasanya aku langsung telepon mama papa atau teman-teman. Dengar suara mereka, cerita-cerita ngalor ngidul, itu udah cukup mengobati rindu. Tapi aku juga nggak mau terlalu sering telepon, takutnya malah jadi homesick banget dan kepikiran pengen pulang terus. Jadi, teleponnya pas lagi ada waktu luang aja, dan nggak sesering mungkin. Biar rindunya tetap ada, tapi nggak sampai mengganggu kebahagiaanku di Jerman.


Perjalanan Panjang Masih Panjang

Dua bulan di Jerman ini baru permulaan. Perjalanan masih panjang, masih banyak hal yang harus aku pelajari dan adaptasi. Tapi aku yakin, dengan dukungan suami, dengan semangat belajar, dan dengan hati yang terbuka, aku pasti bisa melewati semua tantangan ini. Semoga cerita pengalamanku ini bisa sedikit memberikan gambaran tentang kehidupan di Jerman, khususnya buat kalian yang mungkin punya rencana untuk tinggal di sini atau sekadar penasaran sama kehidupan di negeri orang.


Sampai jumpa di postingan blog selanjutnya! Jangan lupa tinggalkan komentar ya, kalau kalian punya pertanyaan atau cerita pengalaman yang sama. Terima kasih, Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Komentar

Postingan Populer