Langsung ke konten utama

Unggulan

“Belajar Bahagia dari Masakan yang Nggak Sempurna”

Assalamualaikum ✨️ Sejak tinggal di Jerman, aku merasa harus belajar banyak hal baru, salah satunya berani masak makanan sendiri. Dulu di Indonesia, aku terbiasa banget tinggal pesan makanan atau gampang banget cari jajanan di luar. Tapi di sini, kalau lagi kangen makanan Indonesia, pilihannya cuma dua: beli yang sudah jadi dengan harga lumayan mahal, atau coba bikin sendiri di rumah. Dan akhirnya aku memilih opsi kedua — masak sendiri, walaupun hasilnya jauh dari kata sempurna. Contohnya kemarin aku bikin Batagor. Aku coba bikin kulitnya sendiri, karena jelas di sini nggak ada yang jual kulit batagor kayak di Indonesia. Pas jadi, bentuknya tuh aneh, nggak rapi, agak tebal di sana-sini. Tapi ya, Alhamdulillah, yang penting jadi, dan rasanya cukup mengobati rindu. Aku jadi sadar, ternyata masak itu nggak selalu soal cantik di luar, tapi soal keberanian untuk mencoba. Selain batagor, aku juga pernah bikin sate ayam bumbu kacang. Bedanya, aku nggak bakar di arang, tapi pakai oven. Jujur a...

“Saat Aku Memutuskan Berhenti Scroll: Cerita Off Sosmed Kedua”

Assalamualaikum.

Sore ini aku sedang mendengarkan lantunan dzikir sore sambil melafalkannya dan melihat langit mulai gelap di luar. Rasanya tenang. Alhamdulillah. Aku mau cerita sesuatu yang ini benar-benar terasa penting buatku — tentang kenapa aku memutuskan untuk off sosmed lagi, fase kedua, dan kenapa fase kedua ini terasa jauh lebih mudah dan menenangkan daripada yang pertama.


Jadi gini. Aku sebenarnya pernah coba off sosmed sebelumnya sekitar 50 hari — kurang lebih satu bulan satu minggu — itu terjadi di pertengahan tahun, sekitar Mei sampai Juni. Waktu itu aku sempat buka lagi Instagram, TikTok, dan platform lain setelah beberapa minggu. Tapi beberapa bulan berjalan, aku menyadari ada yang berubah dalam diriku: aku gampang terdistraksi, gampang kepo, dan seringnya cuma dapat energi negatif dari timeline. Akhirnya, di pertengahan September aku memutuskan lagi: cukup. Aku stop buka sosial media. Sekali lagi.

Kalau ingat perjalanan itu, ada beberapa momen kecil yang selalu aku ingat. Aku minum es kopi susu dingin dari kulkas sesaat setelah sarapan. Hal sepele, tapi di situlah aku sadar betapa seringnya aku nyari kebahagiaan dari hal luar notifikasi, like, komentar. Padahal kebahagiaan itu seringkali sederhana: secangkir minuman, udara pagi, dan waktu tenang untuk menulis atau belajar.

Alasan aku off kali ini bukan semata karena bosan. Ini lebih karena aku mau fokus prioritas: belajar bahasa Jerman (serius, tiap hari), dengerin ceramah dan podcast parenting yang bermanfaat, serta mengembangkan channel YouTube yang memang aku ingin tekuni. WhatsApp tetap aku pakai, tapi kontaknya sangat sedikit — aku sibak-sibak dan sekarang cuma save sekitar 40 kontak. Banyak yang aku hapus. Aku sengaja membersihkan supaya komunikasi yang masuk benar-benar bermakna.

Bedanya fase kedua ini lebih mudah karena aku punya rutinitas yang jelas sejak Agustus. Aku nggak cuma kosongin sosial media, aku isi waktu itu dengan hal yang produktif dan menenangkan: mendengarkan ceramah, podcast parenting (bahasa Indonesia dan beberapa dalam bahasa Jerman), latihan percakapan, serta menyimak konten edukasi di YouTube. Jadi saat godaan untuk buka TikTok datang, aku sudah punya alternatif kegiatan yang membuat hatiku lebih tenang. Mindfullness jadi meningkat, fokus belajar bertambah, dan waktu terasa lebih bernilai.

Ngomongin soal platform: TikTok itu ujian banget buatku. Kadang aku buka cuma sebentar, tapi berujung scrolling sampai lupa waktu. Banyak konten yang masuk—khususnya berita negatif, gosip selebritas, atau hal yang bikin hati naik turun. Twitter juga sekarang kurang cocok buatku; terlalu banyak berita yang membuatku ruwet. Facebook? Aku sudah lama off karena aku nggak nyaman. Awalnya hanya mau tetap berkomunikasi dengan mertua lewat Facebook, tapi lama-lama aku malah lebih memilih untuk tidak aktif karena terasa menguras energi. Bahkan di Instagram aku sempat melakukan pembersihan followers: akun pribadi yang dulunya diikuti banyak laki-laki, aku bersihkan—sekarang semuanya perempuan. Untuk akun yang kupakai buat branding belajar bahasa Jerman, aku biarkan karena memang fungsinya berbeda dan followersnya biasanya yang belajar juga, jadi masih oke.

Ada satu hal yang pernah kusesali dulu: membandingkan. Waktu awal aku mulai kerja, gajiku di bawah UMR. Teman-teman seangkatan sudah mulai mendekati UMR atau lebih. Mereka resign, lalu cepat dapat pengganti kerja. Aku sempat down, ngerasa ketinggalan. Tapi dari pengalaman itu aku belajar untuk tidak terus-menerus melihat kesuksesan orang lain sebagai ukuran kebahagiaan sendiri. Hidupku berproses, dan proses itu membawa aku ke titik yang sekarang—yang nggak kalah berharganya.

Selain itu, proses pertemuan dengan suamiku juga sesuatu yang selalu aku syukuri. Kita bertemu lewat aplikasi Muzz, iseng set lokasi ke Jerman, dan dari sana obrolan berlanjut ke WhatsApp. Dari awal kami klik: saling mendoakan, bertukar energi positif, dan jarang ada hal negatif. Hubungan yang benar-benar memberi rasa aman. MasyaAllah, aku bersyukur. Hal ini juga mengajarkanku bahwa tidak semua koneksi harus diumbar di publik; ada hal yang lebih suci kalau kita jaga secara privat.

Satu kejadian kecil namun bermakna: kemarin Jumat suamiku kerja, jadi aku coba shalat Jumat sendirian. Aku beranikan diri untuk pergi ke Masjid dengan naik U-Bahn (kereta bawah tanah di Jerman). Aku berlarian karena mengejar waktu agar bisa tepat waktu. Angin yang lewat, suara daun, dan langkah kaki sendiri memberi ruang untuk merenung. Aku merasa lebih dekat dengan diri sendiri. Mungkin di luar banyak yang melihat kesepian sebagai hal negatif, tapi bagiku, saat itu adalah bentuk kebebasan yang penuh nikmat. Aku kemudian menyadari, aku semakin berani keluar rumah di negara orang, dengan bekal tekad dan keberanian yang aku punya.

Dari fase kedua off ini, aku rangkum beberapa pembelajaran yang ingin aku bagi — semacam poin kecil buat kamu yang mungkin juga lagi berpikir untuk mundur sejenak dari dunia sosial media:

1. Perhatikan apa yang kamu konsumsi. 
Konten itu berpengaruh ke mood dan pola pikir. Kalau timeline-mu penuh gosip dan berita negatif, efeknya bukan cuma di kepala, tapi juga di hati.


2. Bersihkan kontak dan followers yang bukan memberi manfaat. Aku hapus banyak kontak lama, hapus followers yang nggak relevan. Ini bukan berarti sok suci, tapi aku pilih kualitas relasi daripada kuantitas.


3. Ganti scrolling dengan rutinitas yang membangun. Kalau kamu isi waktu dengan belajar, dengar ceramah, atau baca buku, godaan scroll akan berkurang secara alami.


4. Privasi itu berharga. 
Menjaga ruang pribadi tanpa pamer justru bikin hubungan lebih langgeng dan hatimu lebih aman.


5. Set boundaries pada platform. 
Ada platform yang cocok untuk tujuan tertentu, ada juga yang lebih cocok untuk tidak dibuka sama sekali. Pilih yang sesuai kebutuhanmu.


6. Mindfulness bertumbuh lewat konsistensi. 
Semakin sering aku pilih ketenangan daripada notifikasi, semakin cepat aku merasakan benefitnya: fokus, tenang, dan produktif.


7. Syukurkan prosesmu. 
Bandingkan dengan dirimu yang lalu, bukan dengan orang lain. Perjalanan tiap orang berbeda, dan itu indah.


Aku nggak bilang semua orang harus off sosmed, atau menghapus semua teman. Tapi buatku, keputusan ini sangat membantu aku menjadi lebih fokus dan lebih damai. Sekarang aku lebih banyak pakai YouTube untuk pembelajaran dan inspirasi, dan WhatsApp cuma untuk hal-hal penting. Itu sudah cukup.

Kehidupan di dunia nyata menawarkan lebih banyak pelajaran daripada dunia maya. Di luar sana ada udara segar, percakapan nyata, dan pengalaman yang menyentuh hati. Kadang kita butuh mundur untuk bisa melihat semuanya lebih jelas.

Akhir kata, kalau kamu sedang merasa lelah dengan dunia sosial media atau merasa waktumu banyak terkuras oleh hal yang tidak esensial — coba deh ambil jeda. Mulai dari kecil: satu hari tanpa scroll, lalu tambah jadi beberapa hari. Isi waktu itu dengan hal yang membuat hati lebih tenang. Kalau aku bisa, kamu juga pasti bisa.

Bismillah, semoga keputusan ini baik untukku dan untuk kamu yang baca. Semoga kita diberi kemudahan untuk menjaga hati, fokus pada yang benar-benar penting, dan selalu bersyukur atas setiap detik yang Allah beri.

Alhamdulillah untuk hari ini.
Salam hangat,
Nisya dari Jerman. 🍁🍂


Komentar

Postingan Populer