Langsung ke konten utama

Unggulan

Membiasakan Diri Baca Al-Qur’an Setiap Hari: Perjalananku Bersama Surat-Surat Spesial Sejak 2022

Assalamu’alaikum semua, selamat datang di Nisya Diary Blog 💕 Di tulisan kali ini aku mau cerita tentang kebiasaan baru yang sedang aku bangun dan ternyata dampaknya luar biasa banget buat hati dan keseharian aku. Yap, aku lagi belajar untuk membiasakan diri membaca Al-Qur’an setiap hari sejak tahun 2022, walaupun awalnya terasa berat tapi sekarang malah jadi candu baik, masya Allah. Kenapa Mulai Membiasakan Baca Al-Qur’an? Awalnya aku merasa hidup tuh kayak kurang tenang. Kadang cemas, kadang gelisah tanpa sebab. Padahal kerjaan nggak terlalu berat, kehidupan juga baik-baik aja. Sampai akhirnya aku sadar, mungkin hatiku kering. Kurang asupan ruhani. Dari situ aku mulai nyicil, cari waktu buat baca Al-Qur’an walau cuma sebentar. Tapi lama-lama kok terasa yaa enak banget setelah baca Al-Qur’an. Kayak hati lebih lapang, lebih adem. Akhirnya aku mulai niat untuk menjadikan baca Al-Qur’an sebagai rutinitas harian. Surat-Surat Spesial yang Jadi Rutinitas Aku nggak langsung bisa baca banyak ...

Pengalamanku jadi istri WNA dan diaspora di Jerman

Hai semuanya! Kali ini aku mau berbagi tentang pengalamanku^^
Aku sudah menikah 1 tahun dan beberapa bulan dengan suamiku. Kemudian, hampir satu tahun aku tinggal dengan suamiku di Jerman, seorang pria asal Mesir. Rasanya? Campur aduk. Antara syukur yang besar, tantangan yang nyata, dan proses adaptasi yang kadang melelahkan. Tapi satu hal yang pasti: aku belajar banyak. Tentang pernikahan. Tentang hidup. Dan tentang jadi diriku sendiri, di negeri orang.

Dua Bahasa, Dua Dunia

Salah satu tantangan paling besar buatku selama jadi istri dari WNA adalah bahasa.
Bukan cuma satu, tapi dua: Jerman dan Arab Mesir.

Suamiku lahir dan besar di Mesir, tapi sekarang bekerja dan tinggal di Jerman. Jadi otomatis, aku harus belajar dua bahasa sekaligus. Di satu sisi, aku harus fokus belajar bahasa Jerman karena aku tinggal di sini. Tapi di sisi lain, kalau ingin berinteraksi dengan keluarga suami: aku juga harus bisa bahasa Arab Mesir.

Kadang pusing sih. Tapi ya begitulah jalannya.
Belajar Jerman aku lakuin lewat kelas dan latihan mandiri, kadang pakai YouTube, kadang Google Translate.
Belajar Arab Mesir? Sama. Nonton video, dengerin potongan-potongan percakapan, dan sedikit-sedikit mulai memahami logat serta struktur bahasanya.

Dulu aku pernah belajar Bahasa Arab formal (fusha) waktu di sekolah dan kuliah, tapi jujur: sekarang udah lupa hampir semuanya. Tinggal beberapa kosa kata yang masih tersisa di memori. Tapi yang aku syukuri, bahasa Arab Mesir itu jauh lebih luwes dan sehari-hari, jadi terasa lebih ringan dipelajari.

Dan yang paling aku suka:
Bahasa Mesir tuh banyak banget mengandung doa. Kalimat-kalimat seperti "Ya Rab," "Robbana yehfazek," dan lainnya sering banget terdengar, bikin hati adem. Mereka saling mendoakan dalam percakapan biasa.
Indah sekali, menurutku.

Hidup di Dua Zona Waktu

Karena sekarang aku tinggal di Jerman, dan suamiku juga, kami jauh dari dua keluarga besar kami — satu di Mesir, satu di Indonesia. Untungnya, perbedaan waktu antara Jerman dan Mesir hanya satu jam. Jadi lebih mudah kalau mau video call ke mertua atau saudara-saudara di sana.

Tapi aku ingat dulu, waktu aku masih tinggal di Indonesia, perbedaan waktunya itu kerasa banget.
Saat aku mau ngobrol, di sana masih siang, tapi di Indonesia udah malam banget. Jadinya agak susah buat nyesuaiin waktu komunikasi. Tapi sekarang Alhamdulillah lebih mudah.

Walaupun kami belum sempat pergi ke Mesir, aku dan suami sudah rencanakan untuk melaporkan pernikahan kami secara resmi di sana. Di Jerman, status pernikahan kami sudah tercatat. Di Mesir, kami hanya tinggal menunggu waktu dan libur yang cocok untuk pergi ke sana. Walaupun secara hukum mungkin belum terdata di Mesir, tapi keluarga besar suamiku sudah tahu semuanya. Jadi aku tenang.

Tentang Rindu dan Kehilangan Diri

Pindah ke negara lain bukan hal yang mudah.
Terutama kalau kamu pindah sebagai istri, dengan identitas baru, di lingkungan yang sepenuhnya asing.

Aku meninggalkan Indonesia. Meninggalkan orang tua, sahabat, dan lingkungan tempat aku tumbuh. Kadang aku lihat foto-foto lama di HP, atau konten dari Indonesia di Instagram dan TikTok, dan aku langsung diliputi rindu yang dalam.
Rindu bahasa yang aku pahami sepenuhnya.
Rindu obrolan ringan dengan orang tua.
Rindu suara adzan Papah.
Rindu bau masakan rumah.

Dan di Jerman, semuanya berbeda.
Iklimnya, suasananya, ritmenya, bahkan orang-orangnya. Mereka mandiri, cuek, tidak banyak bicara. Interaksi sangat terbatas. Kadang aku merasa seperti hidup di dalam "gelembung" kecil: hanya aku dan suamiku.

Antara Sertifikat Bahasa dan Cita-Cita

Untuk bisa kerja di Jerman, salah satu syarat utamanya adalah sertifikat bahasa Jerman level tertentu.
Saat ini aku masih di level B1. 
Aku sedang berusaha belajar lebih jauh supaya bisa naik level dan, siapa tahu, suatu hari bisa bekerja dari rumah.

Ya, karena aku ingin tetap berada di rumah. Menjadi istri yang bisa mengurus rumah tangga, dan insya Allah, kelak mengurus anak juga. Tapi tetap ingin punya penghasilan, mungkin dari kerja online.

Masalahnya, gelar pendidikanku dari Indonesia belum tentu diakui di sini. Jadi aku harus menata ulang rencana masa depan.
Apa yang ingin aku kembangkan? Skill apa yang bisa aku tambah?

Ini bukan hal yang mudah.
Tapi aku percaya, setiap proses pasti ada tujuannya.

Jadi Istri Itu Belajar Setiap Hari

Menikah dengan orang dari budaya dan latar belakang berbeda, aku belajar banyak hal.
Kami cuma berdua di Jerman. Keluarga kami jauh. Jadi kami benar-benar harus saling menguatkan, saling memahami, dan saling jaga emosi.

Alhamdulillah, suamiku adalah orang yang sangat baik. Aku tidak ingin menyebutkan semua kebaikannya, karena biarlah itu jadi rahasia yang kusimpan dalam hati. Tapi sungguh, aku bersyukur Allah mempertemukanku dengannya, bahkan kalau jalannya dimulai dari dunia maya.

Setelah hidup bersamanya, aku benar-benar melihat bagaimana karakter aslinya. Dia sabar, penuh pengertian, dan selalu mendukung aku.

Kami bukan pasangan yang sempurna. Tapi kami sama-sama tahu bahwa kami sedang membangun sesuatu yang suci. Pernikahan bukan soal siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling sabar dan saling menguatkan.

Aku Ingin Jadi Orang yang Bermanfaat

Kadang aku merasa kehilangan jadi diriku.
Tapi kemudian aku sadar: mungkin aku sedang ditempa untuk menjadi diriku yang baru.

Bukan hanya jadi istri, tapi juga jadi pribadi yang lebih tenang, lebih ikhlas, dan lebih sadar tujuan.
Aku tak lagi punya ambisi untuk jadi populer.
Aku hanya ingin menjadi istri yang shalihah, ibu yang bijak (kelak), dan manusia yang bermanfaat.
Aku ingin punya waktu untuk ibadah, untuk belajar, dan untuk memperbaiki diri.

Cita-citaku sederhana:

"Masuk surga, bersama suamiku dan orang-orang yang aku cinta."


Itu saja.

Penutup: Doa untuk yang Sedang Berjuang

Buat teman-teman yang juga sedang menempuh jalan serupa: menikah dengan WNA, hidup di luar negeri, belajar bahasa baru, atau meninggalkan zona nyaman:
Aku tahu ini gak mudah. Tapi kamu gak sendiri.

Aku juga pernah merasa asing di negeri orang.
Aku juga pernah merasa kehilangan identitas.
Tapi setiap hari aku belajar satu hal:

> Allah gak pernah salah menempatkan kita.

Setiap perjuangan ini pasti ada hikmahnya.
Setiap rindu yang kita rasakan, akan diganti dengan pelukan yang lebih hangat.
Dan setiap air mata, akan Allah balas dengan senyum kemenangan: entah kapan, tapi pasti.

Tetap semangat, ya.
Pelan-pelan, tapi istiqomah.
Karena perjalanan menjadi istri, menjadi muslimah, dan menjadi versi terbaik dari diri kita, memang gak instan. Tapi sangat mungkin. 🌷

Kalau kamu suka tulisan ini dan merasa terhubung, tinggalkan komentar atau DM aku ya.
Kita bisa saling dukung, saling cerita. Karena jadi perempuan di negeri orang, butuh support system yang kuat: walaupun cuma dari tulisan.

Peluk hangat dariku,
Nisya 🍃

Komentar

Postingan Populer