Langsung ke konten utama

Unggulan

Nisya Diary Blog- Melewati Panas Gelombang Kedua di Jerman & Dirgahayu ke-80 Indonesia

Assalamualaikum teman-teman 💕 Alhamdulillah hari ini sudah tanggal 17 Agustus 2025, tepat Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-80 🎉🇮🇩. Rasanya selalu hangat di hati walaupun aku lagi jauh dari tanah air, tapi tetap ikut merasakan semangat kemerdekaan dari sini. Beberapa hari lalu, Jerman sempat kena gelombang panas kedua di musim panas ini. Suhunya sampai tembus 35°C — dan serius, panas banget! 🥵 Apalagi buat aku yang lebih terbiasa dengan udara tropis di Indonesia, tapi di sini kalau panas itu beda, kering dan menusuk banget rasanya. Alhamdulillah meskipun cuma 3 hari, cukup bikin badan gampang lelah. Tapi sekarang aku senang banget, karena per 17 Agustus ini suhunya sudah mulai adem lagi, maksimal 25°C. Lumayan lebih sejuk, bikin hati juga terasa lebih tenang. Sebenarnya, di Frankfurt ada acara spesial dari KJRI Frankfurt untuk perayaan kemerdekaan. Ada upacara bendera dan juga bazaar makanan khas Indonesia. Kebayang sih pasti seru banget, bisa ketemu banyak orang Indonesia, ngobr...

Lebaran Pertama di Jerman: Cerita Opor Ayam yang Jadi Crispy Chicken & Drama Salah Masjid

 Halo, para pembaca setia Nisya Diary Blog!

Assalamu'alaikum! Apa kabar semuanya? Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT, ya. Aamiin.


Kali ini aku kembali dengan cerita yang super duper spesial dan emosional buatku. Yup, sesuai judulnya, aku mau curhat tentang pengalaman pertamaku merayakan dua hari besar Islam, Idul Fitri dan Idul Adha, di negeri orang, di Jerman. Rasanya? Wah, campur aduk! Ada senengnya, ada harunya, ada sedihnya, bahkan ada drama komedinya juga. Lengkap deh pokoknya.


Buat kalian yang juga anak rantau, mungkin cerita ini bakal relate banget. Buat yang di tanah air, semoga cerita ini bisa kasih gambaran gimana rasanya merayakan Lebaran jauh dari keluarga dan hingar bingar suasana khas Indonesia. Yuk, siapin teh anget, kita mulai ceritanya!


Part 1: Idul Fitri - Ketenangan, Cupcake, dan Keajaiban Halal Crispy Chicken

Kalau ngomongin Idul Fitri, apa yang pertama kali muncul di kepala kalian? Pasti suara takbiran yang menggema dari masjid ke masjid, wangi opor ayam dan rendang buatan mamah, dan riuhnya kumpul keluarga, kan? Nah, bayangin semua itu nggak ada. Sepi. Sunyi. Cuma suara alarm HP yang bangunin buat siap-siap sholat Ied.


Itulah yang aku rasain di pagi hari Idul Fitri pertamaku di Jerman, Minggu, 30 Maret 2025 lalu. Tapi, alhamdulillah, meski sepi, aku dan suami udah punya niat yang kuat dari jauh-jauh hari: kita harus sholat Ied di masjid!


Misi kami pagi itu adalah pergi ke sebuah masjid Arab di kota Nürnberg. Malam sebelumnya, jujur aja badanku agak kurang fit. Sempet mikir, "Duh, besok kuat nggak ya?" Tapi semangat Lebaran mengalahkan segalanya. Qadarullah, paginya aku ngerasa lebih baik dan langsung sat set di dapur. Bukan buat masak ketupat, tapi buat bikin cupcake! Iya, cupcake. Biar ada kue Lebaran versi kami sendiri, hehe. Ajaibnya, semua selesai tepat waktu sebelum kami berangkat.


Kami sengaja berangkat pagi-pagi banget biar dapet kloter pertama. Dan bener aja, alhamdulillah, kami berhasil ikut sholat di erste Gruppe (grup pertama) jam 7 pagi. 

Pas sampai di masjid, hatiku langsung adem. Masya Allah, di sana aku lihat banyak sekali muslimah dari berbagai negara: Turki, Suriah, Maroko, dan negara-negara lainnya. 

Ada tempat khusus untuk perempuan, yang dalam bahasa Jerman disebut Frauenbereich atau Gebetsraum für Frauen (ruang sholat untuk wanita). Melihat mereka semua, rasa kesepianku sedikit terobati. Kami mungkin beda bangsa dan bahasa, tapi kami disatukan oleh iman yang sama. Momen takbiran bersama di dalam masjid itu... Subhanallah, bikin merinding haru.

Selesai sholat, kami saling mengucapkan "Eid Mubarak" satu sama lain. Senyum-senyum tulus dari wajah-wajah yang nggak aku kenal itu rasanya hangat banget.


Tapi, jujur, pas perjalanan pulang, rasa melankolis itu datang lagi. Aku kangen banget sama mamah. Kangen rendangnya, kangen opornya, kangen riweuhnya suasana rumah pas Lebaran. Suamiku kayaknya ngerti banget perasaanku. Dia genggam tanganku sambil bilang, "Sabar, Schatz. Nanti kita bikin Lebaran versi kita sendiri."

Dan "Lebaran versi kami" itu ternyata berbentuk... chicken crispy halal!

Pulang dari masjid, kami sarapan cupcake cokelat buatanku ditemani teh hangat. Simpel, tapi nikmatnya luar biasa. 


Untuk makan siangnya, karena hari itu hari Minggu dan banyak toko tutup, kami bersyukur banget nemu satu supermarket di dekat rumah yang buka dan menjual ayam goreng krispi berlogo halal. Langsung deh kita beli satu paket besar lengkap dengan kentang gorengnya.

Rasanya? Enak banget! Sampai kenyang! Hari itu aku benar-benar libur masak. 


Kami makan siang sambil nonton film, ketawa-ketawa, dan menikmati hari yang tenang. Mungkin nggak ada opor dan rendang, tapi kebersamaan dan rasa syukur itu yang bikin Idul Fitri kami tetap terasa istimewa. Alhamdulillah 'ala kulli haal. Aku bersyukur atas segala nikmat yang Allah kasih.


Part 2: Idul Adha - Drama Pagi Hari, Kesabaran, dan Hiasan di Pojok Rumah

Kalau Idul Fitri berjalan lancar jaya, Idul Adha kemarin (6 Juni 2025) punya cerita yang beda banget. Ada dramanya, ada keselnya, ada capeknya. Lengkap!


Malam sebelum Idul Adha, aku dan suami lagi semangat-semangatnya. Aku baru selesai puasa Arafah, dan setelah buka puasa dan sholat, kami punya ide iseng. Btw, ini juga puasa pertama terlamaku dengan durasi 18 jam 32 menit di Jerman. Karena di Jerman sudah masuk jam musim panas, jadi Magribnya itu jam 21.18. 


Kami pasang hiasan "Eid Mubarak" yang belum kami pakai pas Idul Fitri. Jadilah kami mendekorasi sebuah pojok kecil di ruang tamu kami. Walaupun cuma di pojokan, tapi ngeliat hiasan lampu kelap-kelip dan tulisan "Eid Mubarak" itu bikin suasana rumah jadi lebih hidup dan terasa Lebaran-nya. So süß! (Manis sekali!).


Rencananya, pagi-pagi kami mau sholat Ied di masjid Arab langganan kami, tempat yang sama waktu Idul Fitri. Tempatnya udah pasti, ada tempat buat wanitanya, dan kami udah familiar.

Tapi... entah kenapa, tiba-tiba suamiku punya ide lain.


"Schatz, kita coba ke Masjid Turki, yuk? Katanya di sana mulai sholatnya lebih pagi, jam 5.45," katanya dengan semangat.


Aku langsung ngerasa... ragu. Seingatku, dari yang pernah aku baca dan dengar dari teman-teman, beberapa mazhab atau budaya di Turki itu punya pandangan kalau wanita nggak umum sholat Ied di masjid. Aku langsung bilang ke suamiku, 


“Yakin, My Love? Ada tempat buat perempuannya nggak? Setau aku, masjid Turki kadang suka nggak ada tempat buat jamaah wanitanya lho pas sholat Ied."

Suamiku dengan yakinnya bilang, "Ada kok kayaknya, masjidnya kan gede."

Ya sudahlah, sebagai istri yang baik (ehem!), aku ikutin aja kemauan suami. 


Pagi buta, kami udah siap dan berangkat naik bus ke Masjid Turki yang ada di kota kami. Sampai di sana, masjidnya memang besar dan megah. Jamaah laki-laki sudah ramai berdatangan. Tapi, perasaanku makin nggak enak. Kok nggak ada satu pun perempuan yang kelihatan, ya?


Kami celingukan mencari pintu masuk untuk wanita. Nggak ada. Akhirnya suamiku memberanikan diri bertanya ke salah satu bapak-bapak di sana.


Dan... jeng jeng jeng...

"Oh, untuk hari ini jamaah wanita tidak ada, ditutup," kata si bapak dengan santai.

LEMES. Rasanya aku pengen teriak, "TUH KAN, AKU BILANG JUGA APA!" Tapi ya aku tahan. Aku lihat muka suamiku yang juga kelihatan syok dan merasa bersalah. 


Dalam hati aku campur aduk antara kesel, sedih, dan pengen ketawa miris. Udah dandan cantik-cantik, berangkat pagi-pagi, eh malah ditolak masjid. Was machen wir jetzt? (Sekarang kita ngapain?).


Nggak ada pilihan lain. Kami harus putar balik dan ngejar waktu ke masjid Arab langganan kami yang lokasinya di kota sebelah. Dari yang tadinya cuma naik bus, sekarang kami harus lari-lari ke stasiun U-Bahn (kereta bawah tanah) buat ngejar waktu. Capeknya jangan ditanya. Bolak-balik, gonta-ganti transportasi, sambil nahan kesel di dalam hati.


Alhamdulillah, kami akhirnya sampai juga di masjid Arab. Tapi ya gitu, kami telat. Kloter pertama udah selesai. Kami terpaksa masuk ke kloter kedua (zweite Gruppe). Agak menyedihkan sih rasanya, karena shafnya nggak seramai yang pertama dan suasana semangatnya udah sedikit menurun.


Tapi di tengah semua kekacauan itu, aku coba buat ikhlas. Mungkin ini ujian kesabaran di hari raya kurban. Mungkin Allah mau ngajarin kami sesuatu. Selesai sholat, rasa keselku perlahan hilang. 


Aku lihat wajah suamiku yang masih ngerasa nggak enak, dan aku cuma bisa senyum sambil bilang, "Alles gut(nggak apa-apa), Schatz. Yang penting kita tetap bisa sholat Ied bareng."



Makna Lebaran di Negeri Rantau

Dua Lebaran, dua cerita yang sangat berbeda. Idul Fitri yang tenang dan penuh syukur. Idul Adha yang penuh drama dan pelajaran tentang kesabaran.


Dari sini aku belajar, esensi Lebaran di perantauan itu bukan tentang seberapa meriah perayaannya atau semewah apa hidangannya. Bukan tentang opor, rendang, atau baju baru. 


Tapi tentang niat di dalam hati. Tentang usaha kita untuk tetap menjalankan ibadah meski dalam keterbatasan. Tentang menemukan 'keluarga' baru di tengah komunitas muslim, dan tentang menciptakan kebahagiaan versi kita sendiri bersama orang terkasih.


Pengalaman salah masjid itu, walaupun awalnya bikin kesel, sekarang kalau diingat-ingat malah jadi cerita lucu yang bakal kami kenang selamanya. Inilah bumbu-bumbu kehidupan merantau yang bikin perjalanan ini jadi lebih berwarna.


Aku bersyukur punya suami yang selalu ada di sampingku, melewati suka dan duka Lebaran pertama kami di sini. Dan aku bersyukur atas setiap momen, baik yang manis maupun yang pahit, karena semuanya membentuk kami jadi pribadi yang lebih kuat dan lebih sabar.


Nah, itu dia cerita Lebaran versiku di Jerman. Gimana dengan cerita Lebaran kalian? Pasti punya cerita unik juga, kan? Yuk, sharing di kolom komentar!


Sampai jumpa di postingan selanjutnya, ya!

Salam hangat dari Jerman,
Nisya 🤍

Komentar

Postingan Populer